BREAKING NEWS

Sabtu, 21 Mei 2022

Janji Manis Plasma Perkebunan Sawit

MARABAHAN- Ketika ada tawaran atau niat untuk menjadi peserta Plasma Perkebunan Kelapa Sawit, ada baiknya terlebih dahulu mencermati kecendrungan-kecendrungan bahkan pengalaman dari plasma yang sudah-sudah. Dimana, biasanya dalam perjanjian plasma ada hal-hal yang sangat merugikan bahkan seperti menciptakan rente ekonomi dan perikatan tanpa batas yang membuat petani plasma sangat dirugikan.

Hal itu di ungkapkan oleh salah satu petani plasma Desa Kolam Kanan, Kecamatan Wanaraya, Suparman, Sabtu (21/5).

Ia menjelaskan, ada beberapa hal yang biasanya dan bahkan hampir pasti terjadi dalam skema plasma di perkebunan kelapa sawit diantaranya, tanah atau lahan untuk kebun plasma adalah tanah/lahan yang berasal dari tanah warga sendiri, bukan tanah/lahan dari areal konsesi Perkebunan inti yang disisihkan sejumlah tertentu untuk menjadi lahan plasma/kemitraan. 

"Perusahaan tidak akan mengurangi areal konsesinya untuk dijadikan kebun plasma," terang Suparman.

Dia mengungkapkan, setelah memastikan bahwa lahan/tanah masyarakat diserahkan untuk kebun plasma/kemitraan, perkebunan juga selalu mengelola lahan tidak ada masalah apapun.

"Bila ada masalah saat itu atau kemudian hari, maka menjadi tanggung jawab warga atau warga. Perkebunan inti maunya enak sendiri, lepas tangan dalam hal penyelesaian masalah sengketa plasma," ungkap Suparman.

Menurutnya, ketika lahan/tanah telah diserahkan kepada perkebunan inti [untuk kemudian diagunkan kepada bank], dan untuk dikelola, maka lahan tersebut kemudian tidak dapat dialihkan kepada pihak lain tanpa persetujuan inti. 

"Meskipun kredit plasma telah lunas," ujar Parman panggilan akrabnya menjelaskan.

Lanjutnya, perkebunan inti menyuruh plasma/kelompok mengurus izin dan lain-lainnya dengan menyediakan dana talangan yang kemudian dianggap utang plasma. 

"Dana talangan ini akan dimasukan sebagai utang plasma, meskipun alokasi penggunaannya tidak terlalu jelas, bahkan bisa digunakan juga untuk sogok dan suap," ujar Suparman kembali membeberkan.

Suparman menambahkan, perkebunan inti mewajibkan plasma menjual hasil panen [Tandan Buah Segar] kepada kebun inti bahkan sampai setelah selesainya kredit plasma, yaitu sampai satu siklus tanam +/- 25 tahun. 

"Sehingga tidak ada peluang bagi petani plasma untuk mendapatkan harga yang lebih bersaing," ujarnya.

Ia juga menyayangkan perkebunan inti tidak transparan dalam menentukan harga dan tonase TBS yang diserahkan kepada pabrik dari perkebunan inti, kemudian dikatakan sebagai harga patokan pemerintah atau harga pasar.

"Perkebunan ini tidak jarang campur menyeleksi anggota kelompok, bahkan tidak jarang manajemen memasukkan orang-orang menjadi koleganya, atau bahkan karyawannya atau bahkan top manajemen perkebunan inti sebagai peserta plasma, untuk memulai dan menguasai koperasi, baik pejabat maupun lainnya," katanya.

Lebih lanjut Suparman menambahkan, bahwa perkebunan inti tidak transparan dalam pengajuan dan pembayaran kredit ke bank. Kelompok plasma hanya mendistorsi hasil akhir yang tidak pernah dilaporkan secara terbuka. 

"Selain itu, juga ada biaya-biaya yang seharusnya ter-cover dari yang diajukan ke bank masih dianggap sebagai biaya yang dikeluarkan oleh inti, sehingga inti hasil hasil panen lagi [selain biaya untuk pelunasan kredit], yaitu biaya, biaya investasi, biaya sarana dan prasarana dan juga biaya siluman berupa management fee," ujarnya lagi.

Setelah “dipaksa” menjual TBS kepada pabrik kelapa sawit milik perkebunan inti, plasma masih juga harus menyetor / memotong biaya sebesar 5% sebagai biaya pengelolaan dari hasil panen TBS.

Perkebunan inti berdalih memberikan bantuan untuk pengembangan organisasi koperasi atau kelompok warga, tetapi dimasukan sebagai utang, yang mana juga tidak diketahui oleh koperasi/kelompok, sampai pada saatnya utang koperasi/kelompok membengkak.

Sarana dan prasarana dalam plasma dan untuk plasma [misalnya gudang, pondok karyawan plasma, saprodi dan lain-lain] dikuasi sepenuhnya oleh perusahaan inti, sementara biaya pembangunan sarana prasarana itu telah dibangun diambil dari biaya plasma hasil kredit bank dan bukan milik perkebunan inti.

Sertifikasi lahan plasma, termasuk skema pelunasan dan kredit dengan sertifikat plasma tidak dijelaskan dan seolah-olah telah diserahkan sepenuhnya kepada inti, jika inti melakukan praktik “mengemplang” utang kepada bank, maka plasma akan disandera bank seumur hidup dan anggota plasma akan gigit jari selamanya.

Perusahaan juga meminta secara paksa dalam perjanjian untuk melakukan pemotongan didepan terhadap dana yang dikucurkan kredit dari bank sebesar 5% dengan alasan biaya yang tidak jelas, yaitu biaya yang disebut inti sebagai “overhead”.

Inti selalu berusaha membodohi dan menjerat plasma dengan pasal perjanjian harus menjual ke inti selama satu siklus tanam, padahal seharusnya ketika plasma telah membayar kreditnya, maka keduanya akan menjadi para pihak yang bebas dan perjanjian harus ditinjau ulang.

Besarnya kredit tidak diketahui oleh pihak koperasi/kelompok plasma dan cicilan kredit tidak juga diketahui oleh koperasi plasma dimana pihak inti [sebagai avail] tidak dilaporkan secara berkala kepada koperasi plasma dan tidak ada ruang untuk koperasi melakukan audit.

Perjanjian yang dibuat inti diajukan untuk mengikat selama 1 siklus tanam bahkan sampai batas yang tidak terbatas, hanya sampai saat kredit lunas, maka perjanjian harus disepakati waktu dan bila tidak terjadi kesepakatan baru nantinya, masing-masing pihak sudah bebas dan mandiri awal dinyatakan selesai. (heru/him/jp).

Share Berita :

 
Copyright © 2014 Jurnalis Post. Designed by OddThemes