BREAKING NEWS

Selasa, 02 Mei 2023

H. Muhammad Rais Bin H. Muhammad Sa’ad Orang Badahi

Ditulis Oleh : Muhammad Rizali

Muhammad Rizali sampaikan biografi silsilah tentang Datu H. Marais

Datu H. Marais merupakan nama panggilan dari Tuan Guru H. Muhammad Rais atau yang lebih dikenal dengan Datu Marais. 

Nama “Marais” sendiri merupakan singkatan dari “Muhammad Rais” di dalam aksara Arab Melayu. Kata “Muhammad” di dalam aksara Arab Melayu disingkat dengan huruf “mim” yang kemudian dirangkai dengan kata “Rais” sehingga dibaca menjadi “Marais”. Nama beliau selengkapnya adalah H. Muhammad Rais bin H. Muhammad Sa’ad sebagaimana yang beliau tulis sendiri di dalam tulisan tangan pada bagian kitab yang beliau miliki.

Sedangkan untuk silsilah beliau lebih ke atas lagi menurut keterangan dari zuriat Tuan Guru H. Sulaiman Effendi bin H. Muhammad Rais (Datu H. Marais) di Desa Rangas adalah H. Marais (Muhammad Rais) bin H. Masa’ad (H. Muhammad Sa’ad) bin Ki Ngabi (Kyai Ngabehi) Wangsa Yuda bin Surawijaya bin Surajaya bin Suramanggala.

Adapun tahun kelahiran Datu H. Marais tidak diketahui secara pasti. Namun jika dihitung berdasarkan pada tahun kewafatan beliau dengan perkiraan usia lebih kurang 90 tahun maka dapat diperkirakan beliau lahir kurang lebih sekitar tahun 1263 H atau 1847 M

Berdasarkan riwayat tutur baik di Desa Mahang tempat beliau di makamkan ataupun di kalangan zuriat beliau sendiri berpandangan bahwa beliau bukan penduduk asli Desa Mahang atau dengan kata lain beliau merupakan seorang pendatang dari luar yang merantau dan sampai ke Desa Mahang dan kemudian beristri dengan penduduk asli desa Mahang hingga memiliki keturunan. 

“Dikalangan zuriat sendiri setidaknya terdapat tiga pendapat yang berbeda tentang asal usul Datu H. Marais sebagian zuriat berpendapat bahwa beliau datang dari Turki. Sebagian yang lain berpendapat bahwa beliau datang dari Yaman. Dan yang terakhir zuriat yang berpendapat bahwa beliau berasal dari Demak, namun demikian, pendapat-pendapat tersebut tidak memiliki dasar fakta yang jelas selama ini. Datu H. Marais hanya menuliskan nama Banjar, Barabai dan Mahang sebagai identitas asal usul beliau. Hal ini sebagaimana lazimnya tradisi di kalangan ulama yang selalu menuliskan asal usulnya dibelakang nama, baik itu berupa daerah asal atau tempat kelahirannya. Berdasarkan pada fakta tulisan tangan tersebut, beliau tidak menyebutkan baik nama Turki, Yaman ataupun Demak.” kata Rizali.

Oleh karena itu pengasalusulan Datu H. Marais berasal baik dari Turki, Yaman, maupun Demak tidak memiliki dasar fakta yang jelas setidaknya berdasarkan pada fakta yang ada saat ini.

Namun hal ini tidak menutup kemungkinan apabila yang dimaksud dengan Turki, Yaman
dan Demak itu sebagai identitas asal usul dari kakek atau datuk beliau, yang artinya bukan beliau sebagai orang yang datang baik dari Turki, Yaman ataupun Demak, tetapi kakek atau datuk beliau yang paling memungkinkan sebagai pendatang. Apabila berdasarkan pada nama atau gelar dari kakek sampai datuk-datuk beliau yang menunjukkan gelar untuk kalangan elit tertentu, maka hanya Demak yang paling memungkinkan menjadi asal usul dari datuk beliau, sekalipun juga hal ini tidak bisa dianggap terbukti secara meyakinkan dikarenakan tidak adanya fakta yang jelas tentang hal ini. 

Maka berdasarkan pada fakta yang ada hanya dapat menyimpulkan secara pasti bahwa Datu H. Marais bukan pendatang baik dari Turki, Yaman ataupun Demak. Dari identitas yang beliau tuliskan hanya diketahui bahwa beliau berasal dari Banjar, Barabai, Mahang yang dapat diartikan bahwa beliau orang Banjar dari Barabai yang menetap di Desa Mahang.

“Teka teki tentang ketidak jelasan identitas asal usul Datu H. Marais ini nampaknya berhubungan erat dengan karakter beliau yang memang tidak ingin menjadi masyhur (terkenal).

Para Zuriat berziarah ke makam Datu H. Marais 

Sifat beliau yang tawadhu’ dan khumul (tidak mau dikenal) tercermin dari wasiat beliau yang terkenal di kalangan zuriat bahwa apabila beliau wafat jangan membangun kubah untuk makam beliau dan biarkan saja makam beliau sama dengan makam-makam biasa yang ada. Oleh karena itulah sampai saat ini makam beliau terlihat masih tergolong sederhana jika dibandingkan dengan kebanyakan makam para ulama lainnya,” jelasnya. 

Tidak terlihat hal yang mencolok dari makam beliau kecuali sekarang dibuatkan siring dan atap yang sederhana hanya untuk memudahkan zuriat ataupun orang lain mengenali dan menziarahi makam beliau saja. Selebihnya nisan yang terbuat dari batu tanpa nama beliau. Karena wasiat ini tidak seorang juga pun dari kalangan zuriat yang berani memperbagusi makam beliau tersebut. Dari hal ini dapat diketahui karakter beliau yang tidak mau menonjolkan diri beliau apalagi menonjolkan siapa ayah, kakek dan datuk-datuk beliau.

Menururt penelusuran Muhammad Rizali Datu H. Marais lahir di kalangan keluarga haji dengan tradisi keagamaan yang kental. Hal ini karena ayah beliau yang bernama Muhammad Sa’ad merupakan bubuhan haji. Karena di masa lalu tentunya pelaksanaan ibadah haji hanya dapat dilakukan oleh kalangan tertentu saja. Oleh karena itulah bubuhan haji di masa lalu dikenal sebagai kalangan elit agama di dalam strata social masyarakat Banjar. Bubuhan haji ini tidak hanya sejahtera secara ekonomi, namun menguasai pemahaman keagamaan yang lebih jika dibandingkan dengan yang lain.

Sebagai bagian dari keluarga bubuhan haji, Datu H. Marais tentunya tidak hanya hidup berkecukupan dari sisi materi saja, tetapi juga bertumbuh dengan tradisi pendidikan agama yang kuat sedari kecil. Ayah beliau tentunya tidak akan membiarkan beliau begitu saja tanpa bimbingan ilmu agama. Bahkan ayah beliau sangat memberikan perhatian yang serius di dalam urusan menuntut ilmu agama. Ayah beliau tidak segan mengikat Marais muda di tiang apabila beliau tidak mampu menghapal nahwu sharaf sebagai bekal untuk dapat memahami bahasa Arab.

Sikap yang tegas ini kelak berbuah manis manakala Datu H. Marais kemudian menjadi orang yang alim dalam masalah agama. Datu H. Marais selain bagian dari keluarga bubuhan haji, juga bagian dari trah para petinggi. Hal ini dapat dilihat dari nama kakek beliau yang bergelar Kyai Ngabehi Wangsa Yuda. 

Gelar “Kyai/Kiai” merupakan gelar urang badahi (orang berpangkat) dalam struktur birokrasi kerajaan.

Gelar “Kyai/Kiai” bukan gelar untuk ulama sebagaimana yang kita kenal sekarang ini, tetapi gelar birokrat kerajaan yang biasanya diangkat oleh sultan atau raja baik karena hubungan kekerabatan, prestasi ataupun kesetiaannya kepada sultan.

Adapun gelar “Ngabei/Ngabehi” merupakan gelar yang kedudukannya setara dengan Panglima di Kesultanan Banjar. Gelar tersebut merupakan gelar yang hanya dimiliki oleh para petinggi di dalam strata masyarakat Banjar di masa lalu. Para petinggi ini merupakan salah satu kalangan elit dalam stratifikasi atau tingkatan sosial pada masyarakat Banjar tradisional.

Berdasarkan pada kebiasaan yang berlaku di masa itu, antara keluarga yang berasal dari trah para petinggi biasanya menjalin hubungan kekerabatan melalui perkawinan. Kebiasaan ini juga berlaku pada keluarga Datu H. Marais sebagai bagian dari trah para petinggi. Datu H. Marais menikahi Hj. Hadijatul Kubra yang juga berasal dari keluarga atau trah para petinggi lainnya.

Hj. Hadijatul Kubra merupakan anak dari seorang pambakal di Desa Mahang yang bernama Ki Ulang. Ki Ulang sendiri merupakan saudara kandung dari Kyai Demang Yudha Negara. Dengan kata lain Hj. Hadijatul Kubra yang menjadi istri Datu H. Marais adalah keponakan langsung dari Kyai Demang Yudha Negara sendiri dikenal selama ini sebagai Kepala Distrik (Distriktshoofd) Batang Alai. Dari fakta ini jelas bahwa pernikahan antara Datu H. Marais dengan Hj. Hadijatul Kubra menjadi rantai jalinan kekerabatan antara trah petinggi Kyai Ngabehi Wangsa Yuda dengan trah petinggi Kyai Demang Yuda Negara.

Ketua Zuriat M. Harliansyah didampingi para zuriat Datu H Marais serahkan Bantuan kepada pengurus Mesjid Ashfia Desa Mahang Sungai Hanyar sebesar 5 juta rupiah

Sekalipun demikian, menurut riwayat, Hadijatul Kubra bukan satu-satunya istri Datu H. Marais. Diyakini bahwa beliau memiliki banyak istri, namun yang dapat diketahui selama ini hanya nama Hadijatul Kubra atau yang dikenal di kalangan zuriat dengan panggilan Nini Kantor. Konon menurut riwayat, gelar atau panggilan “Nini Kantor” ini dikarenakan Hadijatul Kubra dikenal sebagai orang yang berani berurusan dengan kantor-kantor Hindia Belanda pada waktu itu sekalipun beliau seorang perempuan.

Hal ini tidaklah mengherankan mengingat Hj. Hadijatul Kubra yang menjadi bagian dari keluarga “petinggi” merupakan anak seorang pambakal sekaligus juga keponakan dari penguasa daerah (Kepala Distrik) Batang Alai, ucapnya

Selain itu juga pergi menuntut ilmu ke Tanah Suci Makkah al Musyarrafah Sebagai bagian dari keluarga bubuhan haji sekaligus juga trah para petinggi, tentunya Datu H. Marais tidak hanya berkecukupan secara ekonomi namun juga alim dalam masalah agama.

“Didikan ayahanda beliau yang sangat serius dalam masalah agama sedari kecilnya telah
menjadikan Datu H. Marais bertumbuh sebagai orang yang paham akan ilmu agama. Namun hal ini tidak lantas membuat beliau berpuas diri. Hausnya akan dahaga ilmu mendorong Datu H. Marais untuk berangkat ke Tanah Suci Mekkah. Pada sekitar tahun 1908, diusia yang bisa dibilang tidak muda lagi, Datu H. Marais memutuskan untuk berangkat ke Tanah Suci Mekkah. Perkiraan tahun tersebut berdasarkan pada catatan tulisan tangan Datu H. Marais sendiri pada halaman depan kitab Tafsir Baidhowi ketika beliau membeli kitab tersebut di Kota Mekkah,” ungkapnya. 

Setidaknya terdapat dua fakta yang dapat diambil dari catatan tulisan tangan Datu H. Marais tersebut, berkaitan dengan keadaan beliau pada saat menuntut ilmu di Kota Mekkah. Pertama, bahwa pada tahun 1327 H itu Datu H. Marais telah berada di Kota Mekkah. Apabila tahun 1327 H itu dirubah ke tahun masehi maka di dapat angka 1909 M. Hal ini berarti bahwa pada tahun 1909 beliau sudah berada di Tanah Suci Mekkah. Berdasarkan angka tahun tersebut maka diperkirakan beliau berangkat sekitar tahun 1908 mengingat pada masa dahulu perjalanan ke Mekkah memakan waktu yang tidak sebentar. Kedua, bahwa beliau sudah menjadi orang berpengetahuan dalam masalah agama sebelum beliau berangkat ke Kota Mekkah. Fakta ini berdasarkan kepada kemampuan beliau menulis dalam bahasa Arab yang menunjukkan beliau sangat faham tentang seluk beluk bahasa Arab. 

Demikian juga beberapa kitab yang beliau beli di Mekkah berdasarkan pada catatan tangan beliau pada halaman depan kitab menunjukkan bahwa beliau sudah dapat memilah-milah kitab-kitab yang beliau perlukan dan kitab-kitab tersebut bukan kitab pelajaran untuk pemula penuntut ilmu.

Menurut riwayat, Datu H. Marais berangkat ke Kota Mekkah bersama-sama dengan rombongan keluarga beliau yang terdiri dari istri dan anak-anak beliau yang berjumlah 11 orang.

Keberangkatan beliau berserta keluarga yang tidak sedikit jumlahnya itu bukan sesuatu hal yang mengherankan, mengingat latar belakang keluarga beliau yang memang berkecukupan sebagai keluarga bubuhan haji dan trah para petinggi. Setelah menempuh perjalanan yang panjang dan melelahkan melalui rute Jambi, Datu H. Marais beserta keluarga akhirnya sampai di Kota Mekah.

Sesampainya di Kota Mekkah, rasa haus akan dahaga ilmu itupun menemukan penawarnya.

Beliau pun berguru menuntut ilmu dengan para ulama besar di Kota Mekkah sekalipun pada masa itu beliau sudah menjadi alim dan usia yang dapat dibilang sudah tidak muda lagi. Semangat beliau untuk menuntut ilmu pada akhirnya mengantarkan beliau untuk berguru dengan seorang ulama besar mazhab Syafi’i di Mekkah al Mukarramah yang bernama al ‘Allamah Syaikh Sa’id Yamani al Hasani.

Syeikh Sa’id Yamani sendiri merupakan salah satu ulama Mekkah yang banyak menjadi rujukan orang-orang Banjar dalam menuntut ilmu pada waktu itu.

Selain menuntut ilmu, menurut riwayat Datu H. Marais juga sempat untuk beberapa waktu
mengajar di Masjidil Haram. Tradisi ini merupakan tradisi yang lumrah dikenal pada ulama Banjar yang menuntut ilmu di Kota Mekkah. Sambil menuntut ilmu beberapa ulama Banjar yang sedari awal sudah tergolong sebagai orang yang alim juga menjadi pengajar di Kota Mekkah, khususnya bagi para penuntut ilmu agama yang baru datang ke Kota Mekkah baik yang berasal dari nusantara secara umum maupun dari Banjar secara khusus. Apalagi Datu H. Marais
sebelumnya juga sudah menandakan bahwa beliau orang yang berpengetahuan agama yang kuat ketika datang ke Tanah Suci Mekkah.

Wafatnya Datu H. Marais Setelah lama berkiprah dalam dunia dakwah dan menyebarkan ilmu pengetahuan agama ke berbagai wilayah, beliau pun akhirnya kembali ke rahmatullah pada sekitar tahun 1934. Diperkirakan usia beliau pada saat wafatnya mencapai lebih kurang 90-an tahun. Beliau dimakamkan di belakang Masjid Ashfia Desa Mahang Sungai Hanya Kecamatan Pandawan Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Haul beliau diperingati oleh sebagian zuriat beliau secara rutin pada setiap tanggal 16 Jumadil Awwal, pungkas Rizali. (ali/jpo)

Share Berita :

 
Copyright © 2014 Jurnalis Post. Designed by OddThemes